boleh dikuburkan di pemakaman kaum muslimin dan hukum-hukum lainnya sebagaimana tertera dalam kitab-kitab fiqih.
Munculnya pemboman, teror, dan pembunuhan adalah hasil dari mengkafirkan, karena orang kafir menurut mereka halal darah dan hartanya, sehingga islam terkesan sebagai agama teroris yang tidak mengenal kasih sayang. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan bahaya mengkafirkan seorang muslim, beliau bersabda :
وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ.
“Dan melaknat
seorang mukmin sama dengan membunuhnya, dan menuduh seorang mukmin dengan
kekafiran adalah sama dengan membunuhnya.”
(HR Bukhari).
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.
“Siapa saja
yang berkata kepada saudaranya,” Hai Kafir”. Maka akan terkena salah satunya
jika yang vonisnya itu benar, dan jika tidak maka akan kembali kepada (orang
yang mengucapkan)nya.”
(HR Bukari dan
Muslim).
لاَ يَرْمِى رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ.
“Tidaklah
seseorang memvonis orang lain sebagai fasiq atau kafir maka akan kembali
kepadanya jika yang divonis tidak demikian.”
(HR Bukhari).
Imam Al Qurthubi berkata,”Bab takfir
(kafir
mengkafirkan) adalah bab yang berbahaya, banyak orang berani mengkafirkan,
merekapun jatuh
(dalam
kesalahan) dan para ulama besar bersikap tawaquf (hati-hati) merekapun selamat,
dan kita tidak dapat membandingkan keselamatan dengan apapun juga.”
Bahkan Syechnya yang jadi pondasi ilmunya salafi wahabi yaitu ibnu Taimiyah berkata,
” Tidak boleh
bagi seorangpun untuk mengkafirkan salah seorang dari kaum muslimin sehingga
ditegakkan kepadanya hujjah dan diterangkan padanya mahajjah, barang siapa yang
telah eksis keislamannya secara yakin, tidak boleh dihilangkan (nama islam)
darinya dengan sebatas dugaan, bahkan tidak hilang keislamannya kecuali setelah
ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhatnya.”
( Sumber Majmu’ fatawa 12/468. )
Juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata,
Juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata,
”Wajib atas
orang yang menasehati dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali
dengan ilmu dan burhan dari Allah, hendaklah ia waspada dari mengeluarkan
seseorang dari islam dengan sebatas pemahamannya, dan penganggapan baik
akalnya, karena mengeluarkan seseorang dari islam atau memasukkannya termasuk
perkara agama yang paling agung, dan setan telah menggelincirkan kebanyakan
manusia dalam masalah ini.”
(Sumber : Ad Douror Assunniyyah 8/217 )
Kaidah yang harus di fahami dalam masalah ini adalah “Salah dalam memaafkan lebih baik daripada salah dalam memberikan sangsi” sebagaimana yang dikatakan oleh ibnul Wazir ketika mengingkari orang yang mengkafirkan ahli bid’ah lihat kitab itsarul haq ‘alal kholq., maka salah ketika kita tidak mengkafirkan karena adanya syubhat lebih ringan dari pada salah dalam mengkafirkan.
Kaidah yang harus di fahami dalam masalah ini adalah “Salah dalam memaafkan lebih baik daripada salah dalam memberikan sangsi” sebagaimana yang dikatakan oleh ibnul Wazir ketika mengingkari orang yang mengkafirkan ahli bid’ah lihat kitab itsarul haq ‘alal kholq., maka salah ketika kita tidak mengkafirkan karena adanya syubhat lebih ringan dari pada salah dalam mengkafirkan.
Peringatan !
Yang harus
diperhatikan adalah bahwa kafir mengkafirkan bukanlah pekerjaan yang boleh
dilakukan oleh setiap orang, Bahkan Ulama atau Syaikh Sholeh Fauzan
hafidzahullah yang menjadi panutan para Salafi Wahabi berkata,” Takfir adalah
perkara yang berbahaya, tidak boleh setiap orang berbicara (mengkafirkan) orang
lain, sesungguhnya ini hanyalah tugas mahkamah syari’at, tugas para ahli ilmu
yang telah kokoh keilmuannya, yang memahami hakikat islam, memahamipembatal-pembatal
islam, memahami keadaan-keadaannya, dan mempelajari realita manusia
dan masyarakat mereka, merekalah yang berhak mengkafirkan.
Adapun orang-orang jahil (bodoh) dan para pelajar, bukan hak mereka untuk mengkafirkan individu-individu atau jama’ah atau negara, karena mereka bukan ahlinya dalam menghukumi.” ( Sumber Al Muntaqo min fatawa Syaikh Fauzan 1/112.)
Memahami hakikat kufur.
Adapun orang-orang jahil (bodoh) dan para pelajar, bukan hak mereka untuk mengkafirkan individu-individu atau jama’ah atau negara, karena mereka bukan ahlinya dalam menghukumi.” ( Sumber Al Muntaqo min fatawa Syaikh Fauzan 1/112.)
Memahami hakikat kufur.
Baiknya kita
membahas terlebih dahulu seputar kufur dan macam-macamnya disertai pembahasan
mengenai batasan dan kaidah-kaidah kafir mengkafirkan, sehingga kita berada
diatas bashirah dan ilmu.
Kufur menurut bahasa artinya menutupi, oleh karena itu Allah menamai petani dengan kuffar, karena mereka menutupi benih dengan tanah, dan orang kafir disebut kafir karena ia menutupi kebenaran.
Adapun kufur secara istilah terbagi menjadi dua yaitu kufur akbar (besar) dan kufur ashgar (kecil).
Kufur ashgar adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam selama tidak istihlal (meyakini bahwa Allah menghalalkannya), tidak pula karena juchud, atau bersombong dan enggan, seperti zina, minum arak dan semua maksiat, dan kufur ini menghilangkan kesempurnaan iman yang wajib.
Sedangkan Kufur akbar adalah kufur yang mengeluarkan pelakunya dari islam dan ia ada enam macam sebagaimana yang dijelaskan oleh ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab madarijussalikin 1/337-338 yaitu :
Pertama :
Kufur menurut bahasa artinya menutupi, oleh karena itu Allah menamai petani dengan kuffar, karena mereka menutupi benih dengan tanah, dan orang kafir disebut kafir karena ia menutupi kebenaran.
Adapun kufur secara istilah terbagi menjadi dua yaitu kufur akbar (besar) dan kufur ashgar (kecil).
Kufur ashgar adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam selama tidak istihlal (meyakini bahwa Allah menghalalkannya), tidak pula karena juchud, atau bersombong dan enggan, seperti zina, minum arak dan semua maksiat, dan kufur ini menghilangkan kesempurnaan iman yang wajib.
Sedangkan Kufur akbar adalah kufur yang mengeluarkan pelakunya dari islam dan ia ada enam macam sebagaimana yang dijelaskan oleh ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab madarijussalikin 1/337-338 yaitu :
Pertama :
Kufur takdzib
yaitu orang yang kafir dengan lisan dan hatinya, meyakini bahwa para Rosul
adalah dusta sebagaimana yang ditunjukkan oleh surat An Naml ayat 83-84.
Kedua :
Kedua :
Kufur juchud
yaitu orang yang meyakini kebenaran para Rosul namun lisannya mendustakan
bahkan memerangi dengan anggota badannya seperti kufurnya fir’aun kepada Nabi
Musa dan kafirnya orang Yahudi kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dan kufur jenis ini ada dua macam :
juchud mutlak
yaitu mengingkari apa yang Allah turunkan secara umum.
juchud
muqoyyad yaitu mengingkari salah satu kewajiban islam atau
keharaman-keharamannya atau salah satu sifat Allah atau kabar-Nya baik secara
sengaja maupun karena lebih mendahulukan orang yang menyelisihinya karena
tujuan tertentu. Namun bila ia juchud karena bodoh atau adanya takwil yang
diberikan udzur untuk pelakunya maka tidak dikafirkan.
Ketiga :
kufur sombong
dan enggan seperti kufurnya iblis, karena ia tidak mengingkari perintah Allah
akan tetapi ia sombong dan enggan, artinya ia menetapkan dengan hati dan
lisannya kebenaran para Rosul, akan tetapi ia tidak mau tunduk dan menerima
karena kesombongan dan enggan, juga seperti kufurnya Abu thalib, kufur ini
disebut juga kufur ‘Inad.
kufur ‘inad, :
kufur ‘inad, :
Sesungguhnya
seorang hamba apabila melakukan dosa disertai keyakinan bahwa Allah telah
mengharamkannya dan meyakini bahwa ketundukan hanya kepada Allah dalam apa yang
Dia haramkan dan mewajibkan untuk tunduk kepadanya, maka orang seperti ini
tidak dihukumi kafir.
Adapun apabila ia meyakini bahwa Allah tidak mengharamkannya, atau mengharamkan akan tetapi ia tidak mau menerima pengharaman tersebut dan ia enggan untuk tunduk dan patuh maka ia jachid (mengingkari) atau mu’anid (menentang)
Oleh karena itu mereka (para ulama) berkata,
Adapun apabila ia meyakini bahwa Allah tidak mengharamkannya, atau mengharamkan akan tetapi ia tidak mau menerima pengharaman tersebut dan ia enggan untuk tunduk dan patuh maka ia jachid (mengingkari) atau mu’anid (menentang)
Oleh karena itu mereka (para ulama) berkata,
” Barang siapa
yang memaksiati Allah karena sombong seperti iblis maka ia kafir dengan
kesepakatan ulama, karena orang yang berbuat maksiat karena sombong walaupun ia
meyakini bahwa Allah adalah Rabbnya, namun penentangan dana pengingkarannya
meniadakan keyakinan tersebut.
Dan barang
siapa yang berbuat maksiat karena mengikuti syahwatnya maka ia tidak kafir
menurut ahlussunnah, namun dikafirkan oleh firqah khawarij.
Penjelasannya adalah :
Penjelasannya adalah :
Barang siapa
yang melakukan keharaman karena istihlal, ia kafir dengan kesepakatan
ulama, karena tidak beriman kepada Al Qur’an orang yang meyakini halal apa-apa
yang diharamkan oleh Al Qur’an, demikian pula jika ia istihlal dengan tanpa
berbuat, dan istihlal maknanya “adalah meyakini halal apa yang Allah
haramkan atau meyakini haram apa yang Allah halalkan” hal itu terjadi karena
adanya cacat dalam keimanannya kepada rububiyah Allah, dan cacat dalam
keimanannya kepada risalah dan menjadi juchud yang murni tanpa dibangun diatas
pendahuluan.
Terkadang ia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya dan ia mengetahui bahwa Rosul hanyalah mengharamkan apa yang Allah haramkan, kemudian ia tidak mau beriltizam dengan pengharaman ini dan menentang yang mengharamkannya, maka ini lebih kafir dari yang sebelumnya, terkadang disertai keyakinan bahwa Allah akan mengadzab orang yang tidak iltizam (mewajibkan diri untuk mengharamkan) pengharaman ini.
Kemudian keengganan ini terkadang karena adanya cacat dalam meyakini hikmah Allah dan kekuasaannya, sehingga keengganan tersebut karena tidak mempercayai salah satu dari sifat Allah Ta’ala. Dan terkadang disertai pengetahuan tentang seluruh apa-apa yang harus dipercayai (namun ia enggan) karena durhaka dan mengikuti tujuan nafsunya dan hakikatnya adalah kafir. Ini dikarenakan ia mengakui bahwa milik Allah dan Rosul-Nya lah semua apa yang dikabarkan, dan mempercayai apa yang dipercayai oleh kaum mukminin, akan tetapi ia tidak menyukainya, benci dan marah karena tidak sesuai dengan keinginannya, ia berkata,”Saya tidak mau menetapkan hal itu, tidak mau beriltizam, dan saya benci kepada kebenaran dan lari darinya.” Maka jenis kufur ini berbeda dengan jenis pertama dan mengkafirkan orang seperti ini adalah sesuatu yang dlarurat (pasti) dalam agama islam, dan Al Qur’an dipenuhi pengkafiran jenis ini dan siksanya lebih keras..”
menjelaskan tentang hakikat kufur sombong dan enggan (‘inad), dimana orang yang tidak mau melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan padahal ia meyakini wajib atau haramnya tidak termasuk ke dalam kufur ini, dan pelakunya tidak dikafirkan. Namun bila disertai dengan kebencian kepada kebenaran, lari darinya dan bersombong diri maka inilah hakikat kufur sombong dan enggan.
Keempat :
Terkadang ia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya dan ia mengetahui bahwa Rosul hanyalah mengharamkan apa yang Allah haramkan, kemudian ia tidak mau beriltizam dengan pengharaman ini dan menentang yang mengharamkannya, maka ini lebih kafir dari yang sebelumnya, terkadang disertai keyakinan bahwa Allah akan mengadzab orang yang tidak iltizam (mewajibkan diri untuk mengharamkan) pengharaman ini.
Kemudian keengganan ini terkadang karena adanya cacat dalam meyakini hikmah Allah dan kekuasaannya, sehingga keengganan tersebut karena tidak mempercayai salah satu dari sifat Allah Ta’ala. Dan terkadang disertai pengetahuan tentang seluruh apa-apa yang harus dipercayai (namun ia enggan) karena durhaka dan mengikuti tujuan nafsunya dan hakikatnya adalah kafir. Ini dikarenakan ia mengakui bahwa milik Allah dan Rosul-Nya lah semua apa yang dikabarkan, dan mempercayai apa yang dipercayai oleh kaum mukminin, akan tetapi ia tidak menyukainya, benci dan marah karena tidak sesuai dengan keinginannya, ia berkata,”Saya tidak mau menetapkan hal itu, tidak mau beriltizam, dan saya benci kepada kebenaran dan lari darinya.” Maka jenis kufur ini berbeda dengan jenis pertama dan mengkafirkan orang seperti ini adalah sesuatu yang dlarurat (pasti) dalam agama islam, dan Al Qur’an dipenuhi pengkafiran jenis ini dan siksanya lebih keras..”
menjelaskan tentang hakikat kufur sombong dan enggan (‘inad), dimana orang yang tidak mau melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan padahal ia meyakini wajib atau haramnya tidak termasuk ke dalam kufur ini, dan pelakunya tidak dikafirkan. Namun bila disertai dengan kebencian kepada kebenaran, lari darinya dan bersombong diri maka inilah hakikat kufur sombong dan enggan.
Keempat :
Kufur I’radl
yaitu berpaling dengan pendengaran dan hatinya dari Rosul, tidak membenarkan
tidak juga mendustakan, tidak memberikan loyalitas tidak pula memusuhi, tidak
mau memperhatikan apa yang di bawa oleh Rosul sebagaimana yang dikatakan oleh
seseorang dari Bani Abdu Yalail kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,” Demi
Allah, aku akan mengatakan kepadamu suatu kalimat : Jika engkau benar, engkau
lebih agung dimataku untuk menolakmu, dan jika engkau dusta, engkau lebih hina
untuk aku ajak bicara.”
Kelima :
Kelima :
Kufur nifaq
yaitu memperlihatkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran seperti kufurnya
Abdullah bin Ubayy bin Salul tokoh munafiq di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Keenam :
Keenam :
Kufur Syak
(ragu) yaitu ragu kepada kebenaran Rosul dan tidak memastikan. Dan keraguannya
tersebut berlangsung apabila ia mewajibkan dirinya untuk tidak mau melihat
tanda-tanda kebenaran Rosul secara global, tidak mau mendengar tidak pula
menengoknya.
Adapun apabila ia memperhatikan tanda-tandanya, tidak akan ada lagi keraguan karena tanda-tanda tersebut menunjukkan kepada kebenaran sebagaimana matahari menunjukkan kepada siang.
Adapun apabila ia memperhatikan tanda-tandanya, tidak akan ada lagi keraguan karena tanda-tanda tersebut menunjukkan kepada kebenaran sebagaimana matahari menunjukkan kepada siang.
Kufur menurut
murji’ah.
Murji’ah
meyakini bahwa iman itu hanya sebatas tashdiq (pembenaran) saja, maka orang
yang membenarkan Rosul menurut mereka imannya tetap sempurna walaupun ia
mencaci maki Allah dan Rosul-Nya, hal ini juga karena mereka meyakini bahwa
apabila sebagian iman ada maka ada semua iman, dan keyakinan ini berasal dari
keyakinan mereka yang sesat bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
Sehingga menurut murji’ah kufur itu hanya sebatas kufur takdzib saja, dan ini
bertentangan dengan ahlsussunnah yang membagi kufur akbar menjadi enam jenis.
Sebab-sebab
kufur.
Syaikh Mar’iyy
bin Yusuf Al karmiyy Al Maqdisi Al Hanbali dalam kitab dalil thalib hal 317
berkata,” Kufur terjadi dengan empat perkara :
Dengan
perkataan seperti mencaci maki Allah dan Rosul-Nya atau malaikat atau mengaku
Nabi, atau berkata syirik.
Dengan
perbuatan seperti sujud kepada berhala atau melempar mushaf Al Qur’an ke tinja
dan lain-lain.
Dengan
keyakinan seperti meyakini adanya sekutu bagi Allah atau meyakini bahwa zina
dan arak adalah halal, atau meyakini bahwa roti itu haram dan lain sebagainya
dalam perkara yang telah disepakati oleh para ulama secara pasti.
Dengan
meragukan sesuatu dari itu.” (Sumber At Tabshir
bi qowa’id attakfir karya Syaikh Ali Hasan Al halabi hal 63-64 )
Kaidah-kaidah
dan batasan seputar kafir mengkafirkan.
Tidak boleh
seorang mukmin untuk tenggelam dalam masalah kafir mengkafirkan sebelum ia
memahami kaidah-kaidahnya, dan merealisasikan syarat-syarat dan batasannya,
jika tidak maka ia telah menjerumuskan dirinya dalam dosa dan kebinasaan,
karena masalah kafir mengkafirkan termasuk masalah agama yang paling agung,
tidak ada yang menguasainya kecuali para ulama besar yang luas dan tajam pemahamannya.
Berikut ini adalah kaidah-kaidah penting yang harus diketahui oleh seorang
mukmin seputar takfir :
Kaidah pertama:
Kaidah pertama:
Kafir
mengkafirkan adalah hukum syari’at dan hak murni bagi Allah Ta’ala bukan milik
paguyuban atau kelompok tertentu dan tidak diserahkan kepada akal dan perasaan,
tidak boleh dimasuki oleh semangat membabi buta tidak pula permusuhan yang
nyata. Maka tidak boleh dikafirkan kecuali orang yang Allah dan Rosul-Nya telah
kafirkan.
Bahkan ulama yang jadi landasan ajranPara
salafi wahabi sendiri yaitu ibnu Taimiyah berkata,”
Bahkan ulama yang jadi landasan ajran
Berbeda dengan
apa yang dikatakan oleh sebagian orang seperti Abu ishaq Al Isfiroyini dan para
pengikutnya yang berkata,” Kita tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah
kita kafirkan”. Karena sesungguhnya kufur itu bukan hak mereka, akan tetapi ia
adalah hak Allah…”
(Sumber Minhajussunnah 5/244 )
Karena mengkafirkan maknanya adalah menghalalkan darahnya dan menghukuminya kekal dalam api Neraka, dan ini tidak bisa diketahui kecuali dengan nash atau kiyas kepada nash tersebut.
Kaidah kedua :
Karena mengkafirkan maknanya adalah menghalalkan darahnya dan menghukuminya kekal dalam api Neraka, dan ini tidak bisa diketahui kecuali dengan nash atau kiyas kepada nash tersebut.
Kaidah kedua :
orang yang
masuk islam secara yakin tidak boleh dikafirkan sebatas dengan dugaan saja.
Kaidah ini ditunjukkan oleh sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, Usamah berkata,” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami dalam sebuah pasukan, maka kami menyerang musuh di pagi hari dan aku mengejar seseorang lalu ia berkata ”Laa ilaaha illallah” namun aku tetap membunuhnya, maka hatiku merasa tidak tenang sampai aku sebutkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,”Apakah ia mengucapkan laa ilaaha illallah engkau membunuhnya? Aku berkata,’ Wahai Rosulullah, sesungguhnya ia mengucapkannya karena takut dari pedang”. Beliau bersabda,” Mengapa engkau tidak membedah hatinya saja supaya mengetahui apakah ia mengucapkannya karena itu atau tidak ?! beliau terus mengulang-ulang perkataan itu sampai aku berharap baru masuk islam pada hari itu.”
Dalam kisah ini Usamah membunuh orang tersebut dengan sebatas dugaan bahwa ia mengucapkannya karena takut pedang, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari perbuatan Usamah dan menyuruhnya untuk menghukumi sesuai dengan apa yang tampak.
Kaidah ketiga :
Kaidah ini ditunjukkan oleh sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, Usamah berkata,” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami dalam sebuah pasukan, maka kami menyerang musuh di pagi hari dan aku mengejar seseorang lalu ia berkata ”Laa ilaaha illallah” namun aku tetap membunuhnya, maka hatiku merasa tidak tenang sampai aku sebutkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,”Apakah ia mengucapkan laa ilaaha illallah engkau membunuhnya? Aku berkata,’ Wahai Rosulullah, sesungguhnya ia mengucapkannya karena takut dari pedang”. Beliau bersabda,” Mengapa engkau tidak membedah hatinya saja supaya mengetahui apakah ia mengucapkannya karena itu atau tidak ?! beliau terus mengulang-ulang perkataan itu sampai aku berharap baru masuk islam pada hari itu.”
Dalam kisah ini Usamah membunuh orang tersebut dengan sebatas dugaan bahwa ia mengucapkannya karena takut pedang, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari perbuatan Usamah dan menyuruhnya untuk menghukumi sesuai dengan apa yang tampak.
Kaidah ketiga :
Orang yang
jatuh ke dalam perbuatan kufur walaupun kufur akbar karena ketidak tahuannya,
belum bisa dikafirkan sampai ditegakkan padanya hujjah dan dihilangkan syubhat
darinya.
Kafir mengkafirkan itu termasuk ancaman, karena sesungguhnya walaupun sebuah perkataan itu mendustakan apa yang diucapkan oleh Rosul akan tetapi bisa jadi orang yang mengucapkannya itu baru masuk islam atau tinggal di pedalaman, maka orang seperti ini tidak dikafirkan karena juchud yang ia lakukan sampai ditegakkan padanya hujjah. Boleh jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash (yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut kufur), atau mendengarnya namun tidak shahih, atau adanya dalil lain yang mengharuskan ia mentakwilnya walaupun takwilnya tersebut salah.
Saya selalu mengingat hadits yang ada dalam shahihain mengenai orang yang berkata,” Jika aku mati bakarlah mayatku kemudian kumpulkan debunya dan buanglah ke laut, demi Allah kalau memang Allah mampu atasku, Dia akan mengadzabku dengan adzab yang tidak ada seorangpun diadzab dengannya.” Lalu mereka pun melakukannya, maka Allah berfirman kepadanya,” Apa yang membawamu berbuat seperti itu ? ia berkata,” Karena takut kepada-Mu.” Maka Allah mengampuni dosanya.
Orang ini telah meragukan kemampuan Allah untuk menghidupkannya setelah menjadi tulang belulang, bahkan ia meyakini tidak akan dikembalikan ! ini kufur dengan kesepakatan kaum muslimin, akan tetapi ia bodoh tidak mengetahui dan ia seorang mukmin yang takut kepada Allah, maka Allah pun mengampuni dosanya. Dan orang yang salah dari ahli ijtihad yang bersungguh-sungguh mengikuti Rosul shallallahu ‘alaihi wasallam lebih layak mendapat ampunan daripada orang itu.
Diantara hujjah yang kuat yang menunjukkan kepada kaidah ini adalah hadits yang dikeluarkan oleh Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf (9/462 no 18032) dari Ma’mar dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah untuk mengambil zakat, lalu ada seseorang yang bertengkar dengannya dalam urusan zakatnya, Abu Jahmpun memukulnya sehingga melukai kepalanya. Lalu mereka mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,” Qishash wahai Rosulullah ! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Buat kalian begini dan begini” namun mereka tidak rela. Beliau bersabda lagi,” Buat kalian begini dan begini” Mereka tetap tidak rela. Beliau bersabda,” Buat kalian begini dan begini” Merekapun rela menerimanya.
Nabi bersabda,” Sesungguhnya aku akan berkhutbah kepada manusia untuk mengabarkan keridloan kalian ? mereka menjawab,”Ya”. Maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah,”Sesungguhnya orang-orang Bani Laits ini mendatangiku meminta qishash, dan aku menawarkan kepada mereka begini dan begini dan merekapun ridlo, apakah kalian ridlo ? mereka menjawab,”Tidak”.
Melihat itu kaum Muhajirin geram kepada mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka untuk menahan diri, kemudian beliau memanggil mereka dan memberi tambahan dan bersabda,”Apakah kalian ridla ? mereka menjawab,”Ya”. Beliau bersabda,”Sesungguhnya aku akan berkhutbah kepada manusia untuk mengabarkan keridloan kalian.” Mereka menjawab “ya”. Maka Nabi berkhutbah dan bersabda,”Apakah kalian ridla? Mereka menjawab “Ya”.
Abu Muhammad bin Hazm berkata,” Dalam hadits ini terdapat pemberian udzur kepada orang yang bodoh, dan bahwasannya ia tidak dikeluarkan dari islam yang apabila dilakukan oleh orang yang telah tegak hujjah kepadanya menjadikannya ia kafir, karena orang-orang bani Laits itu mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan pendustaan mereka itu adalah kufur yang murni tanpa ada perselisihan ulama, akan tetapi karena kebodohan dan kebaduian mereka tidak dikafirkan. “
Kafir mengkafirkan itu termasuk ancaman, karena sesungguhnya walaupun sebuah perkataan itu mendustakan apa yang diucapkan oleh Rosul akan tetapi bisa jadi orang yang mengucapkannya itu baru masuk islam atau tinggal di pedalaman, maka orang seperti ini tidak dikafirkan karena juchud yang ia lakukan sampai ditegakkan padanya hujjah. Boleh jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash (yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut kufur), atau mendengarnya namun tidak shahih, atau adanya dalil lain yang mengharuskan ia mentakwilnya walaupun takwilnya tersebut salah.
Saya selalu mengingat hadits yang ada dalam shahihain mengenai orang yang berkata,” Jika aku mati bakarlah mayatku kemudian kumpulkan debunya dan buanglah ke laut, demi Allah kalau memang Allah mampu atasku, Dia akan mengadzabku dengan adzab yang tidak ada seorangpun diadzab dengannya.” Lalu mereka pun melakukannya, maka Allah berfirman kepadanya,” Apa yang membawamu berbuat seperti itu ? ia berkata,” Karena takut kepada-Mu.” Maka Allah mengampuni dosanya.
Orang ini telah meragukan kemampuan Allah untuk menghidupkannya setelah menjadi tulang belulang, bahkan ia meyakini tidak akan dikembalikan ! ini kufur dengan kesepakatan kaum muslimin, akan tetapi ia bodoh tidak mengetahui dan ia seorang mukmin yang takut kepada Allah, maka Allah pun mengampuni dosanya. Dan orang yang salah dari ahli ijtihad yang bersungguh-sungguh mengikuti Rosul shallallahu ‘alaihi wasallam lebih layak mendapat ampunan daripada orang itu.
Diantara hujjah yang kuat yang menunjukkan kepada kaidah ini adalah hadits yang dikeluarkan oleh Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf (9/462 no 18032) dari Ma’mar dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah untuk mengambil zakat, lalu ada seseorang yang bertengkar dengannya dalam urusan zakatnya, Abu Jahmpun memukulnya sehingga melukai kepalanya. Lalu mereka mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,” Qishash wahai Rosulullah ! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Buat kalian begini dan begini” namun mereka tidak rela. Beliau bersabda lagi,” Buat kalian begini dan begini” Mereka tetap tidak rela. Beliau bersabda,” Buat kalian begini dan begini” Merekapun rela menerimanya.
Nabi bersabda,” Sesungguhnya aku akan berkhutbah kepada manusia untuk mengabarkan keridloan kalian ? mereka menjawab,”Ya”. Maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah,”Sesungguhnya orang-orang Bani Laits ini mendatangiku meminta qishash, dan aku menawarkan kepada mereka begini dan begini dan merekapun ridlo, apakah kalian ridlo ? mereka menjawab,”Tidak”.
Melihat itu kaum Muhajirin geram kepada mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka untuk menahan diri, kemudian beliau memanggil mereka dan memberi tambahan dan bersabda,”Apakah kalian ridla ? mereka menjawab,”Ya”. Beliau bersabda,”Sesungguhnya aku akan berkhutbah kepada manusia untuk mengabarkan keridloan kalian.” Mereka menjawab “ya”. Maka Nabi berkhutbah dan bersabda,”Apakah kalian ridla? Mereka menjawab “Ya”.
Abu Muhammad bin Hazm berkata,” Dalam hadits ini terdapat pemberian udzur kepada orang yang bodoh, dan bahwasannya ia tidak dikeluarkan dari islam yang apabila dilakukan oleh orang yang telah tegak hujjah kepadanya menjadikannya ia kafir, karena orang-orang bani Laits itu mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan pendustaan mereka itu adalah kufur yang murni tanpa ada perselisihan ulama, akan tetapi karena kebodohan dan kebaduian mereka tidak dikafirkan. “
Kaidah keempat :
Harus
dibedakan antara takfir mutlak dengan takfir mu’ayyan dimana takfir mutlak
tidak mengharuskan takfir mu’ayyan kecuali apabila terpenuhi syarat-syaratnya
dan hilang penghalang-penghalangnya baik dalam masalah ushul maupun parsial.
Takfir mutlak artinya mengkafirkan secara umum tanpa menentukan individu tertentu, seperti perkataan imam Ahmad,” Barangsiapa yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk maka ia kafir.”
Takfir mutlak artinya mengkafirkan secara umum tanpa menentukan individu tertentu, seperti perkataan imam Ahmad,” Barangsiapa yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk maka ia kafir.”
Adapun takfir
mu’ayyan artinya mengkafirkan individu tertentu, seperti mengatakan,” si
anu kafir.” Dan takfir mutlak tidak mengharuskan takfir mu’ayyan, oleh karena
itu imam Ahmad tidak mengkafirkan Khalifah makmun dan pengikutnya yang dengan
terang mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk bahkan memaksakan pendapat
tersebut kepada rakyatnya, beliau tidak mengkafirkan karena belum
terpenuhi padanya syarat-syarat takfir dan masih adanya penghalang.
Karena sesungguhnya nash-nash Al Qur’an dalam ancaman bersifat mutlak seperti firman Allah Ta’ala :
Karena sesungguhnya nash-nash Al Qur’an dalam ancaman bersifat mutlak seperti firman Allah Ta’ala :
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِي بُطُوْنِهِمْ نَارًا.
“Sesungguhnya
orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api dalam perutnya.” (An Nisaa : 10).
Demikian pula semua yang dikatakan padanya : Barang siapa yang melakukan begini maka bagi dia begini, ini bersifat mutlak dan umum dan sama dengan apa yang dikatakan oleh ulama salaf : Barang siapa yang mengatakan begini maka dia begini. Namun individu yang divonis itu tidak terkena ancaman karena adanya taubat, atau kebaikan yang menghapus dosanya atau musibah yang menimpa atau syafa’at yang diterima.
Dan kafir mengkafirkan itu termasuk ancaman, karena sesungguhnya walaupun sebuah perkataan itu mendustakan apa yang diucapkan oleh Rosul akan tetapi bisa jadi orang yang mengucapkannya itu baru masuk islam atau tinggal di pedalaman, maka orang seperti ini tidak dikafirkan karena juchud yang ia lakukan sampai ditegakkan padanya hujjah. Boleh jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash (yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut kufur), atau mendengarnya namun tidak shahih, atau adanya dalil lain yang mengharuskan ia mentakwilnya walaupun takwilnya tersebut salah.”
Demikian pula semua yang dikatakan padanya : Barang siapa yang melakukan begini maka bagi dia begini, ini bersifat mutlak dan umum dan sama dengan apa yang dikatakan oleh ulama salaf : Barang siapa yang mengatakan begini maka dia begini. Namun individu yang divonis itu tidak terkena ancaman karena adanya taubat, atau kebaikan yang menghapus dosanya atau musibah yang menimpa atau syafa’at yang diterima.
Dan kafir mengkafirkan itu termasuk ancaman, karena sesungguhnya walaupun sebuah perkataan itu mendustakan apa yang diucapkan oleh Rosul akan tetapi bisa jadi orang yang mengucapkannya itu baru masuk islam atau tinggal di pedalaman, maka orang seperti ini tidak dikafirkan karena juchud yang ia lakukan sampai ditegakkan padanya hujjah. Boleh jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash (yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut kufur), atau mendengarnya namun tidak shahih, atau adanya dalil lain yang mengharuskan ia mentakwilnya walaupun takwilnya tersebut salah.”
Syarat-syarat
takfir mu’ayyan.
Untuk
mengkafirkan invidu harus terpenuhi padanya syarat dan hilang
penghalangnya. Syaikh Dr Ibrahim Ar Ruhaili hafidzahullah dalam kitabnya
mauqif Ahlussunnah menyebutkan empat syarat yang wajib dipenuhi, yaitu :
1. Orang yang
melakukan kekafiran telah baligh dan berakal.
Berdasarkan
hadits yang terkenal “Diangkat pena dari tiga orang : anak kecil sampai baligh,
orang yang tidur sampai bangun dan orang gila sampai waras.” (HR Abu Dawud).
2. Ia
melakukannya bukan dengan paksaan.
Karena orang
yang dipaksa dimaafkan oleh Allah sebagai firman-Nya :
مَنْ كَفَرَ بِاللهِ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيْمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِاْلكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ.
“Barang siapa
kafir kepada Allah setelah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan mereka akan mendapat adzab yang besar.”
(An Nahl :
106).
3. Sudah tegak
padanya hujjah.
Imam Syafi’I
rahimahullah berkata,”Allah mempunyai nama-nama dan sifat yang tidak boleh
ditolak, barang siapa yang menyelisihi setelah tegak hujjah kepadanya maka
ia kafir, adapun sebelum tegak hujjah maka diberi udzur karena kebodohannya.”
Juga Ibnu Taimiyah berkata,
”Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya secara mutlak dan belum sampai kepadanya
ilmu yang menjelaskan kebenaran kepadanya, tidak boleh dihukumi kafir sampai
tegak padanya hujjah yang siapa menyelisihinya menjadi kafir, karena banyak
manusia salah dalam menafsirkan Al Qur’an dan banyak tidak tahu makna-makna Al
Qur’an dan Sunnah sedangkan kesalahan yang tidak disengaja dan lupa dimaafkan
dari umat ini, dan kufur tidak jatuh kecuali setelah adanya penjelasan.” (
Sumber Majmu’ fatawa 12/523-524.)
Dan syarat tegaknya hujjah adalah memahami hujjah yang disampaikan kepadanya, maka orang yang belum memahami hujjah yang sampai kepadanya belum tegak hujjah kepadanya seperti apabila orang jawa menegakkan hujjah kepada orang cina dengan bahasa jawa, maka sangat lucu bila ada orang menganggap sudah tegak hujjah kepadanya. Syaikh Ibrahim Ar ruhaili menyebutkan banyak dalil yang menunjukkan kepada hal ini dalam kitab beliau mauqif Ahlussunnah 1/206-221.
Dan syarat tegaknya hujjah adalah memahami hujjah yang disampaikan kepadanya, maka orang yang belum memahami hujjah yang sampai kepadanya belum tegak hujjah kepadanya seperti apabila orang jawa menegakkan hujjah kepada orang cina dengan bahasa jawa, maka sangat lucu bila ada orang menganggap sudah tegak hujjah kepadanya. Syaikh Ibrahim Ar ruhaili menyebutkan banyak dalil yang menunjukkan kepada hal ini dalam kitab beliau mauqif Ahlussunnah 1/206-221.
4. Hilang
darinya syubhat atau tidak muta’awwil.
Muta’awwil
adalah orang yang salah dalam memahami nash Al Qur’an atau hadits atau kaidah
agama atau suatu alasan yang ia aggap kuat padahal tidak demikian, dan dengan
syarat maksud tujuannya adalah mengikuti Rosul shallallahu ’alaihi wasallam
bukan mengikuti hawa nafsu.
Muta’awwil tidak boleh dikafirkan tidak pula dianggap fasiq, bahkan ia dimaafkan karena ta’wil adalah salah satu jenis kesalahan dalam berijtihad,
Muta’awwil tidak boleh dikafirkan tidak pula dianggap fasiq, bahkan ia dimaafkan karena ta’wil adalah salah satu jenis kesalahan dalam berijtihad,
firman Allah
Ta’ala :
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا.
“Ya Rabb kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan.”
(Al Baqarah :
286).
Dalam masalah ini ibnu Taimiyah juga berkata,
Dalam masalah ini ibnu Taimiyah juga berkata,
”Sesungguhnya
muta’awwil yang bermaksud mengikuti Rosul shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
dikafirkan tidak pula dianggap fasiq apabila ia salah dalam berijtihad, dan ini
masyhur pada manusia dalam masalah-masalah amaliyah, adapun dalam masalah aqidah
kebanyakan manusia mengkafirkan orang yang salah (dalam ta’wilnya), namun
pendapat ini tidak pernah dikenal dari para shahabat dan tabi’in seorang pun,
tidak pula dari para imam kaum muslimin, ia hanyalah berasal dari ahli bid’ah yang
membuat-buat bid’ah dan mengkafirkan orang yang menyelisihinya seperti firqah
khawarij, mu’tazilah dan jahmiyyah, dan sebagian pengikut madzhab Malik,
Syafi’I, Ahmad dan selain mereka.”
(Sumber Minhajussunnah 5/239-240. Lihat mauqif ahlussunnah
1/229.)
Diantara dalil
yang menunjukkan kepada kaidah ini adalah kisah Hathib bin Abi Balta’ah ketika
Rosulullah hendak mengirimkan pasukan besar dalam rangka fathu makkah, beliau
merahasiakan pengiriman pasukan ini namun Hathib mengirim surat lewat seorang
wanita untuk memberitahukan saudaranya disana perihal pengiriman pasukan
tersebut, dalam kisah tersebut disebutkan bahwa Umar berkata,” Wahai
Rosulullah, orang ini telah mengkhianati Allah dan Rosul-Nya, biarkan aku
memenggal lehernya !” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Wahai
Hathib, apa yang membawamu melakukan perbuatan tersebut ? ia menjawab,”Wahai
Rosulullah, Aku masih beriman kepada Allah dan Rosul-Nya, akan tetapi saya
ingin keluarga dan harta saya terlindungi disana.” Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,”Benar, jangan kalian berkata kepadanya kecuali kebaikan.”
Umar kembali berkata,”Wahai Rosulullah ,
ia telah mengkhianati Allah dan
Rosul-Nya dan kaum mukminin, biarkan aku memenggal lehernya!” beliau
bersabda,”Bukankah ia termasuk orang yang ikut perang badar ? Apa
pengetahuanmu, sesungguhnya Allah telah mengetahui mereka dan berfirman,”
Silahkan kamu berbuat apa yang kamu suka karena sesungguhnya Aku telah
mewajibkan kamu masuk surga.” Air mata Umar berlinang dan berkata,” Allah dan Rosul-Nya
lebih mengetahui.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits
ini, Umar menganggap perbuatan Hathib sebagi pengkhianatan terhadap Allah,
Rosul-Nya dan kaum mukminin yang termasuk kufur akbar, dan pemahaman Umar ini
tidak disanggah oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun Nabi memaafkan
Hathib dan tidak mengkafirkan tidak pula memenggal lehernya, karena Hathib
melakukkan itu disebabkan oleh ta’wil yang salah dan bukan bermaksud
menentang Allah dan Rosul-Nya tidak pula berniat untuk berkhianat.
Saudaraku, demikianlah islam agama yang dipenuhi kasih sayang kepada manusia bukan agama yang mengajarkan sikap ekstrim saling benci apalagi memberi cap kepadanya sebagai Ahlull bid’ah dan sesat , bodoh dan lain –lain ,tidak pula sikap arogan,
Saudaraku, demikianlah islam agama yang dipenuhi kasih sayang kepada manusia bukan agama yang mengajarkan sikap ekstrim saling benci apalagi memberi cap kepadanya sebagai Ahlull bid’ah dan sesat , bodoh dan lain –lain ,tidak pula sikap arogan,
Nabi kita
tidak mengajarkan untuk mudah mengkafirkan dan memfasikkan seseorang juga
mengatakan seseorang itu ahli Bid,ah , bukankah mendakwahi mereka agar kembali
kepada jalan yang lurus dengan tidak arogan dan sombong akan lebih baik dari
pada kita sibuk mengkafirkan kaum muslimin yang yang juga saudara kita ?!
bukankah bila mereka mendapat hidayah melalui tangan kita lebih baik dari unta
merah yang mahal harganya…. ?.
Kita satu kalimah
tauhid yaitu :
Laa ila ha
illallah Muhammad Rosulullah.
Kita meyakini
Nabi ita yang ter akhir yaitu Muhammad Sholallahu alihi wasalam.
Dan Al Qur’an
kita sama . mengapa Harus Saling mengatakan Sesat atau Kafir atau Ahlull Bid,ah
dan lain-lain..!
Mari kita
Bersatu dalam islam Mahjab ada 4 yang di akui
Dan sudah
pasti berbeda dalam setiap mahjab dalam menghukumi suatu masalah tapi satu
dalam syareat …!
Kecuali jika
tidak ber mahjab dan beda segalanya dengan seperti yan tersebut di atas..!
�ْن�� � � �. ��/ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Seburuk-buruk penguasa
kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci
mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai
Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau
bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah
kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian
sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan
(darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
-Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu berkata:
“Urusan kaum muslimin
tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.”
Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa
menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata:
“Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala
tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam
jihad…” (Sumber Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187,
dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas
hal. 57)
-Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz
Al-Hanafi berkata:
“Adapun kewajiban menaati
mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak
menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh
lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap
kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan)
pahala yang berlipat.”
-Al-Imam
Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah
menghapuskan kewajiban (menaati mereka,.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya
sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan
mendapat pahala yang sempurna insya Allah.
Yakni kerjakanlah shalat
berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah
bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Sumber Thabaqat
Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah,
hal. 14)
-Al-Imam Ibnu Baththah
Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli
ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang
zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat
Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta
penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.”
(Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
-Al-Imam
Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama
Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad , Syam dan Mesir….” Kemudian beliau
berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara
berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban
menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i,
1/194-197)
-Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim,
dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang
kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan.
Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam),
karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat
Islam yang harus dipelihara.
Syi’ar kebersamaan tersebut akan
pudar manakala umat Islam di masing-masing negeri bercerai-berai dalam
mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhannya.
Ibadah yang bersifat
kebersamaan semacam ini keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam
di masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
Shaum Ramadhan bersama
penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang
dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa tersebut seorang yang adil
ataupun jahat. Karena kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya
ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses
ru‘yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
Realita membuktikan, bahwa
dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat
Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya
ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh
umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban
bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas
umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.
________________
[1] Hadits Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Shaum itu di hari kalian
(umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan
(waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
[2] Beliau merupakan salah
satu ulama yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul
Fithri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja, sebagaimana yang beliau
rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian, beliau sangat getol
mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri
bersama penguasanya, sebagaimana perkataan beliau di atas.
Fatwa Ulama Islam Tentang Penentuan Awal Ramadhan
dan Ied
Sudah menjadi polemik
berkepanjangan di negeri kita, adanya khilaf sepanjang tahun tentang penentuan
hilal (awal) bulan Romadhon. Karenanya, kita akan menyaksikan keanehan ketika
kaum muslimin terkotak, dan terpecah dalam urusan ibadah mereka.
Semua ini timbul karena
jahilnya kaum muslimin tentang agamanya, dan kurangnya mereka bertanya kepada
ahli ilmu. Nah, manakah versi yang benar, dan sikap yang lurus bagi seorang
muslim dalam menghadapi khilaf seperti ini? Menjawab masalah ini, tak ada
salahnya –dan memang seyogyanya- kita kembali kepada petunjuk ulama’ kita,
karena merekalah yang lebih paham agama.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 10973)
Soal: ”Ada
sekelompok orang yang multazim, dan berjenggot di negeri kami; mereka
menyelisihi kami dalam sebagian perkara, contohnya puasa Romadhon. Mereka tak
puasa, kecuali jika telah melihat hilal (bulan sabit kecil yang muncul di awal
bulan) dengan mata kepala. Pada sebagian waktu, kami puasa satu atau dua hari
sebelum mereka di bulan Romadhon. Mereka juga berbuka satu atau dua hari
setelah (masuknya) hari raya…”
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 10973)
Soal: ”
berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yang artinya),
“Berpuasalah kalian karena
melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya.
Jika ada mendung pada
kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban 30 hari, pen)”.
[HR. Al-Bukhoriy (1810),
dan Muslim (1081)]
Maksudnya disini adalah perintah puasa dan berbuka (berhari raya), jika nyata adanya ru’yah (melihat hilal) dengan mata telanjang, atau dengan menggunakan alat yang membantu ru’yah (melihat hilal) berdasarkan sabda
Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
(yang
artinya), “(Waktu) Puasa pada hari mereka berpuasa, dan berbuka (berhari
raya) pada hari mereka berbuka (berhari raya), dan berkurban pada hari mereka
berkurban”.
[HR. Abu Dawud,
At-Tirmidziy , dan Ibnu Majah ]
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya”.
“Tatkala orang-orang dahulu dari kalangan para ahli fiqhi berselisih di dalam masalah ini; setiap orang diantara mereka memiliki dalil, maka -jika telah nyata terlihatnya hilal, baik melalui radio, atau yang lainnya di selain tempatmu-, wajib bagi kalian untuk mengembalikan masalah puasa atau tidak kepada penguasa umum (tertinggi) di negara kalian.
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya”.
“Tatkala orang-orang dahulu dari kalangan para ahli fiqhi berselisih di dalam masalah ini; setiap orang diantara mereka memiliki dalil, maka -jika telah nyata terlihatnya hilal, baik melalui radio, atau yang lainnya di selain tempatmu-, wajib bagi kalian untuk mengembalikan masalah puasa atau tidak kepada penguasa umum (tertinggi) di negara kalian.
jika ia (pemerintah) telah
memutuskan berpuasa atau tidak, maka wajib atas kalian untuk mentaatinya,
karena sesungguhnya keputusan penguasa akan menghilangkan adanya perselisihan
didalam masalah seperti ini.
Atas dasar ini, pendapat
untuk berpuasa atau tidak akan bersatu, karena mengikuti keputusan kepala
negara kalian; masalah akhirnya bisa terselesaikan.
Adapun kalimat yang berbunyi,
“bagi setiap tempat
memiliki ru’yah”, ini bukanlah hadits dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.
Itu hanyalah merupakan
ucapan kelompok yang menganggap berbedanya matla’ (waktu & tempat
munculnya) hilal dalam memulai puasa Ramadhan dan akhirnya.
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta –Shollallahu ‘alaihi wasallam-, keluarga serta para sahabatnya”.
Melihat hilal bisa menggunakan alat-alat pengintai (teropong) untuk melihat hilal; namun tidak boleh bersandar kepada ilmu-ilmu falaq untuk menetapkan awal bulan ramadhan yang suci dan idul fitri, karena sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’la- tidak mensyari’atkan bagi kita hal tersebut, baik dalam Kitab-Nya, maupun sunnah Nabi-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Hanyalah disyariatkan bagi kita untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan akhirnya dengan melihat hilal bulan ramadhan pada awal puasa;
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta –Shollallahu ‘alaihi wasallam-, keluarga serta para sahabatnya”.
Melihat hilal bisa menggunakan alat-alat pengintai (teropong) untuk melihat hilal; namun tidak boleh bersandar kepada ilmu-ilmu falaq untuk menetapkan awal bulan ramadhan yang suci dan idul fitri, karena sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’la- tidak mensyari’atkan bagi kita hal tersebut, baik dalam Kitab-Nya, maupun sunnah Nabi-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Hanyalah disyariatkan bagi kita untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan akhirnya dengan melihat hilal bulan ramadhan pada awal puasa;
Demikian pula melihat hilal Syawwal untuk berbuka
dan bersatu dalam melaksanakan sholat idul fitri.
Allah –Subhanahu wa Ta’la- telah menjadikan bulan
sabit (hilal) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.
Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menentukan waktu ibadah dengan cara
apapun, selain dengan melihat hilal dari ibadah-ibadah, seperti puasa Ramadhan,
hari ‘ied, ibadah haji, puasa untuk kaffarah (tebusan) membunuh, puasa kaffarah
zhihar, dan lain sebagainya.
Allah -Ta’ala-’ berfirman (yang artinya), “Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. [(QS. Al-Baqoroh: 185)]
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal) itu, maka katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan haji”.
Allah -Ta’ala-’ berfirman (yang artinya), “Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. [(QS. Al-Baqoroh: 185)]
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal) itu, maka katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan haji”.
[(QS. Al-Baqoroh: 189)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda
(yang artinya), “Berpuasalah
kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya.
Jika ada mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban) 30 hari”.
Berdasarkan hal itu, orang yang tak melihat hilal di tempatnya, baik ketika kondisi cuaca cerah, atau pun cuaca mendung, maka wajib baginya untuk menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari, jika orang lain di tempat lain tak melihat hilal.
Berdasarkan hal itu, orang yang tak melihat hilal di tempatnya, baik ketika kondisi cuaca cerah, atau pun cuaca mendung, maka wajib baginya untuk menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari, jika orang lain di tempat lain tak melihat hilal.
Apabila telah nyata bagi mereka terlihatnya hilal
di luar negeri mereka, maka harus bagi mereka mengikuti sesuatu yang telah
diputuskan oleh pimpinan umum (penguasa tertinggi) yang muslim di negeri mereka tentang bolehnya
puasa, dan berhari raya, karena keputusan penguasa dalam masalah seperti ini,
akan menghilangkan khilaf diantara para ahli fiqih dalam memandang perbedaan
tempat atau tidak”.
Lalu bagai mana pandangan Ulama Islam tentang perbedaan hari raya kaum muslimin: Iedul Fithri, dan Iedul Adhha. Di samping itu, telah diketahui bahwa hal itu bisa mengantarkan kepada pelaksanaan puasa pada hari yang haram puasa padanya, yaitu hari ied; mengantarkan kepada pelaksanaan buka puasa (hari raya) pada hari yang masih wajib berpuasa di dalamnya? Umat mengharapkan jawaban yang memuaskan dalam masalah penting ini agar menjadi hujjah di sisi Allah”.
Ulama menjawab:
Lalu bagai mana pandangan Ulama Islam tentang perbedaan hari raya kaum muslimin: Iedul Fithri, dan Iedul Adhha. Di samping itu, telah diketahui bahwa hal itu bisa mengantarkan kepada pelaksanaan puasa pada hari yang haram puasa padanya, yaitu hari ied; mengantarkan kepada pelaksanaan buka puasa (hari raya) pada hari yang masih wajib berpuasa di dalamnya? Umat mengharapkan jawaban yang memuaskan dalam masalah penting ini agar menjadi hujjah di sisi Allah”.
Ulama menjawab:
“Jika mereka berselisih
dalam perkara yang ada diantara mereka, maka mereka (harus) berpegang dengan
keputusan penguasa di negara mereka, jika penguasanya adalah muslim, karena
keputusan penguasa ini akan menghilangkan khilaf, dan mengharuskan ummat untuk
mengamalkannnya.
Jika penguasa bukan
muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis Islamic Centre di negeri
mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka di bulan Romadhon, dan
pelaksanaan sholat ied di negeri mereka”.
Akhirnya, sebagian umat berpuasa bersama negara (pemerintah)nya, dan sebagian lagi puasa bersama negara lain”; negara (pemerintah) lebih dahulu berpuasa ataukah terlambat, karena di dalam hal ini terdapat sesuatu yang bisa memperluas perselisihan di sebuah rakyat sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri-negeri Arab sejak beberapa tahun yang silam, Wallahul Musta’an”.
Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya berpuasa dan berhari raya ied bersama pemerintah demi menyatukan langkah.
Akhirnya, sebagian umat berpuasa bersama negara (pemerintah)nya, dan sebagian lagi puasa bersama negara lain”; negara (pemerintah) lebih dahulu berpuasa ataukah terlambat, karena di dalam hal ini terdapat sesuatu yang bisa memperluas perselisihan di sebuah rakyat sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri-negeri Arab sejak beberapa tahun yang silam, Wallahul Musta’an”.
Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya berpuasa dan berhari raya ied bersama pemerintah demi menyatukan langkah.
Dibawah ini adalah salah
satu Contoh Fatwa MUI tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal & Dzulhijjah
KEPUTUSAN FATWA MAJELIS
ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN,
SYAWAL, DAN DZULHIJJAH
Majelis Ulama Indonesia ,
MENIMBANG:
(a) bahwa umat Islam
Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha,
serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang
tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan
dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
(b) bahwa keadaan
sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif
terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
(c) bahwa Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003 telah
menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah,
sebagai upaya mengatasi hal di atas;
(d) bahwa oleh karena itu,
Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal
bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.
MENGINGAT:
1. Firman Allah SWT (Subhanahu wa Ta’ala), antara lain :
(QS Yunus [10]: 5) :
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…
(QS. an-Nisa’ [4]: 59) :
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan
ulil-amri di antara kamu.
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w.
(shallallahu ‘alaihi wa sallam), antara lain :
(H.R. Bukhari Muslim dari
Ibnu Umar) : “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu
Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat
tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.
(Bukhari Muslim dari Abu
Hurairah) : “Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan
berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal).
Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah
bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
(H.R. Bukhari dari Irbadh
bin Sariyah) : “Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang
memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.
3. Qa’idah fiqh:
“Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang
pendapat”.
MEMPERHATIKAN:
MEMPERHATIKAN:
Pendapat para ulama ahli
fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani.
Keputusan Ijtima Ulama
Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan
Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
Keputusan Rapat Komisi
Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah
SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH
Pertama : Fatwa
Penetapan awal Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI
cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati
ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijjah.
Dalam menetapkan awal Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama
Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
Hasil rukyat dari daerah
yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI .
Kedua : Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.
Lalu mengapa harus selalu Ada perbedaan dalam awal
ramadhan dan 1 syawal dalam umat islam….?
Siapakah yang salah dalam
Hal ini…?
Hanya mereka para Ulama
dan pemerintah yang tahu jawabanya . dan kita kembalikan masalah ini pada diri
kita masing masing atas keyakinan kita jika bersandar pada hadist nabi
sholallahu alaihi wasalam yang artinya
“Berpuasalah kalian karena
melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya.
Jika ada mendung pada
kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban 30 hari, pen)”.
[HR. Al-Bukhoriy (1810),
dan Muslim (1081)]
Dan bersandar pada Al qur
an :
Allah -Ta’ala-’ berfirman
(yang artinya), “Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. [(QS.
Al-Baqoroh: 185)].
Waullahu alam .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TINGALKAN URL SITUS / BLOG ANDA DI AKHIR COMMENTAR TERIMAKASIH.