Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.
1. Hadis mauquf.
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ…
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada rasulullah saw). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra`yi).(11)
2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah
rasulullah saw . Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in)kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)
Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil di atas sudah lebih dari cukup.
Dalil Tarawih 8 Rakaat
Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebihafdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat.(15)
Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.
1. Hadis Ubay bin Ka`ab :
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان – قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab datang menghadap
rasulullah saw lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).
Hadis ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa`i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga terdapat rawi bernama Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).(16)
2. Hadis Jabir :
حدثنا عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر.
Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.” (HR. Thabarani).(17)
Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub al-Qummi.(18)
3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang shalat Witir :
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“
rasulullah saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” (Muttafaq `alaih).
Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat :
1. Pemotongan hadis.
Kawan-kawan yang sering menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara sempurna adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan hadis boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda.(19) Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir hadis ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.(20)
2. Kesalahan dalam memahami maksud hadis.
Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabishallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.
عن عائشة – رضي الله عنها – : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».
Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabishallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.”(HR. Bukhari).(21)
3. Pemenggalan Hadis.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.(22)
Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”(23) Apabila di selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat, pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
4. Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.
Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir, seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada bulan Ramadhan saja.
5. Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat Nabi.
Pemenggalan hadis seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma`) para shahabat radhiyallahu `anhum termasuk diantaranya Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah hadis disebutkan :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
“Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).(24)
Dalam hadis yang lain disebutkan :
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).(25)
Dalam hadis yang lain juga disebutkan :
إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).(26)
6. Kerancuan linguistik.
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.(27) Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.(28)
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat lebihafdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil ijma` shahabat di dukung hadismauquf berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara tidak ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat atas shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.
Namun perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling hina, saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan saudara seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim?
Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat shalat Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud tanpa thuma`ninah atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga menggugurkan salah satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek (tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui kesalahannya.(29)
Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan antara satu sama lain bi al-hikmah wa al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan shalat dengan khusyu`,khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.
Secara lughah atau kebahasaan puasa berarti imsak atau menahan. Secaraistilahi puasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkannya, dari fajar sampai terbenam matahari. Secara hakiki puasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, dari fajar sampai terbenam matahari disertai menjaga anggota badan dari berbuat dosa.
Rasulullah SAW bersabda :
خمس يفطرن الصائم الكدب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة
“Lima hal yang merusak orang puasa, yaitu bohong, gosip, mengadudomba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat.”
“Lima hal yang merusak orang puasa, yaitu bohong, gosip, mengadudomba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat.”
Berikut ini adalah ketentuan-ketentuan di bulan Ramadhan:
1. Bulan Ramadhan bulan penuh berkah. Pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup, syetan dibelenggu dan terdapat lailatul qadr. Rasulullah bersabda:
قد جاءكم رمضان شهر مبارك افترض الله عليكم فيه صيامه تغتح فيه ابواب الجنة وتغلق فيه ابواب النار وتغل فيه الشياطين فيه ليلة خير من الف شهر
“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, Allah telah mewajibkan kalian berpuasa pada bulan itu, pada bulan itu dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan-syetan dibelenggu. Pada bulan itu pula terdapat lailatul qadr yang nilainya lebih baik dari 1.000 bulan.” (HR Ahmad)
“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, Allah telah mewajibkan kalian berpuasa pada bulan itu, pada bulan itu dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan-syetan dibelenggu. Pada bulan itu pula terdapat lailatul qadr yang nilainya lebih baik dari 1.000 bulan.” (HR Ahmad)
2. Rasulullah SAW menyatakan, bahwa barang siapa merasa gembira dengan kedatangan bulan Ramadhan, Allah mengharamkan jasadnya dari jilatan api neraka (HR. Bukhari)
3. Dengan puasa Ramadhan dosa diampuni. Rasulullah bersabda yang artinya:“Barangsiapa saum Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), diampuni dosa yang telah lalu. (HR Bukhari Muslim)
4. Dengan Qiyamu Ramadhan juga dosa diampuni. Sabda Rasul yang artinya:“Barangsiapa melakukan qiyamu Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), ia diampuni dosa yang telah lalu. (HR Bukhari Muslim)
5. Puasa merupakan persermbahan khusus bagi Allah, dan di bulan Ramadhan pahala amal dilipatgandakan. Rasulullah bersabda yang artinya: “Setiap kebaikan dibalas 10 kali hingga 700 kali lipat, kecuali saum. Maka saum bagi-Ku. Oleh karena itu Akulah yang akan membalasnya.” (HR Bukhari Muslim)
6. Dalam bulan Ramadhan, pahala amal dilipatgandakan, ibadah wajib bernilai 70 kali wajib di luar Ramadhan, ibadah sunnat sama nilainya dengan wajib di luar Ramadhan. Bahkan pada bulan Ramadhan terdapat satu malam (lailatul qadr) yang nilainya lebih baik dari 1.000 bulan.
7. Rasulullah menegaskan, bahwa bau mulut orang berpuasa, bagi Allah lebih harum dari aroma yang paling harum. (HR Bukhari Muslim)
8. Puasa bermanfaat untuk kesehatan. Rasulullah SAW bersabda,“Berpuasalah, kamu akan sehat.” (HR Bukhari)
Tips Sukses Ibadah Ramadhan
Pada bulan Ramadhan, selain mendapat keuntungan diampuni dosa yang telah lampau sebagai keutamaan pahala puasa dan qiyamu Ramadhan, dalam bulan Ramadhan pun kita mendapat kesempatan meningkatkan pahala amal ibadah, karena pahalanya dilipatgandakan. Selepas Ramadalan kita diberi anugrah kembali ke fitrah (‘idul fitri).
Namun sudah tentu, keistimewaan ini diperuntukkan hanya bagi orang yang berpuasa dengan benar dan memanfaatkan kesempatan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, Rasulullah menyatakan, bahwa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan manfaat dari puasanya, kecuali lapar dan haus.
Berikut tips sukses beribadah Ramadhan:
1. Agar puasa bermanfaat bagi kesehatan, lakukanlah praktek puasa Rasulullah sebagai berikut : 1) mengakhirkan makan sahur dan tidak berlebihan, 2) menyegerakan berbuka apabila datang waktu maghrib, sunnah dengan makanan yang manis (biasanya Rasulullah berbuka dengan 3 buah kurma), lalu shalat maghrib, baru dilanjutkan makan dengan tidak berlebihan, 3) melakukan qiyamu Ramadhan (tarawih). Kalau cara ini dilakukan, badan akan semakin sehat dan tidak akan merasakan kelelahan puasa.
2. Usahakan puasa kita termasuk kategori puasa khusus, yaitu di samping mencegah segala hal yang membatalkan puasa, juga mencegah dari hal-hal yang dapat merusak pahala puasa, yaitu marah, berkata ngelantur, bohong, menggunjing, sumpah palsu, mengadudomba (provokasi), memfitnah, bermusuhan dan melihat dengan syahwat serta melihat sesuatu yang mendorong lupa kepada Allah, menjaga telinga dari mendengar yang tidak baik, dan menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan dosa.
3. Keberhasilan puasa sebagai metode pengendalian diri antara lain nampak dalam perilaku makan sahur dan berbuka, yaitu tidak berlebihan. Di samping akan membawa hikmah meningkatnya kesehatan, juga membawa manfaat akan mampu menahan diri untuk tidak mengambil milik orang lain. Jangankan milik orang lain yang haram, milik sendiri pun tidak digunakan untuk memenuhi dorongan hawa nafsu.
4. Setiap malam melakukan tarawih. Di samping mendapat keutamaan diampuni dosa, tarawih pun sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena selama tarawih, tubuh kita melakukan metabolisme dalam keadaan badan bergerak, oleh karena itu upayakan tarawih 20 raka’at sebagaimana kesepakatan 4 madzhab.
5. Memperbanyak tadarus Al-Qur’an, i’tikaf dan dzikir.
6. Memperbanyak sedekah, terlebih-lebih memberi makanan untuk berbuka puasa (memberi makanan kepada seorang untuk berbuka puasa, mendapat pahala puasa satu hari)
7. Upayakan kita memperoleh keutamaan lailatul qadr, yaitu beribadah pada satu malam di bulan Ramadhan yang persisnya dirahasiakan. Dalam berbagai hadits, dijelaskan, kemungkinan datangnya lailatul qadr pada malam-malam ganjil di 10 malam akhir Ramadalan, terutama malam ke-27.
8. Perbanyak amal saleh, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dalam hubungan dengan sesama manusia, karena pahalanya dilipatgandakan.
9. Bayar zakat fitrah sebelum shalat idul fitri.
10. Manfaatkan idul fitri untuk bersilaturahim dan saling memaafkan, sehingga kita bersih dari dosa dalam hubungan antar sesama manusia. Insya Allahdengan puasa dan tarawih, dosa dalam hubungan dengan Allah telah diampuni. Maka pada idul fitri, kita bagaikan bayi yang baru dilahirkan, tidak ada dosa sedikitpun. Amin.
Ust. Samhari
Wakil Katib PCNU Garut
Ust. Samhari
Wakil Katib PCNU Garut
Ada beberapa pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada bulan Ramadhan sebagai berikut:
1. Madzhab Hanafi
Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).
Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.
2. Madzhab Maliki
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat.
Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”.
Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.
3. Madzhab as-Syafi’i
Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.
4. Madzhab Hanbali
Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni suatu masalah, ia berkata, “shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.
Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.
Kesimpulan
Kesimpulan
Dari apa yang kami sebutkan itu kita tahu bahwa para ulama’ dalam empat madzhab sepakat bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah. Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat.
Para ulama ini beralasan bahwa shahabat melakukan shalat pada masa khalifah Umar bin al-Khattab ra di bulan Ramadhan 20 rakaat atas perintah beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dan lain-lainnya, dan disetujui oleh para shahabat serta terdengar diantara mereka ada yang menolak. Karenanya hal itu menjadi ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti sebagaimana ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh.
KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU
Shalat Tarawih merupakan Ibadah yang unik bagi umat Islam di Indonesia, selalu saja setiap tahun menjelang bulan Ramadhan dan dalam bulan Ramadhan menjadi bahan pembicaraan dan kajian bagi kalangan intelektual. Bahkan ada juga di kalangan masyarakat papan menengah ke bawah dan pinggiran, menjadi sumber konflik, antara jamaah satu dengan jamaah lain, antara masjid satu dengan masjid lainnya bahkan ada yang konflik antar keluarga, antara menantu dan mertua bisa terjadi retak dan bercerai gara-gara tidak sepaham dengan amaliyah yang dianutnya.
Pasalnya adalah masalah tarawih di bulan Ramadhan, ada yang mengerjakan 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Masalah furuiyyah yang kental dengan khilafiyyah ini sudah lama menjadi kajian para fuqaha terdahulu dan sudah disiapkan jawabannya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan “khilafiyyah” tersebut.
Bagi mereka yang dapat memanfaatkan dan menghargai usaha dan pemikiran para fuqaha tersebut maka dapat merasakan rahmat dan nikmatnya ikhtilaf, tapi bagi mereka yang tidak mau menggunakannya maka menjadi mala petaka baginya dan umat yang dipimpinnya.
Sebenarnya permasalahan apa yang mereka ributkan itu? Permasalahnnya adalah berangkat dari hadits Nabi yang berbunyi:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه البخاري
Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Dari hadis ini timbul perbedaan pemahaman apakah yang dimaksud من قام itu قيام اليل atau tarawih, maka berikut ini penulis mencoba mengemukakan pandangan para ulama sebagai berikut:
Pemahaman bahwa kegiatan shalat sunah di malam-malam Ramadhan dikatakan tarawih atau qiyamu Ramadhan adalah didasarkan sabda Nabi SAW:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه البخاري
Barang siapa shalat pada “malam Ramadhan” karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Barang siapa shalat pada “malam Ramadhan” karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Kata “Tarawih” adalah jama’ dari “Tarawih” yaitu satu kali dari “Rahah” (istirahat), seperti kata “Taslimah” dari “salam”. Shalat Tarawih berjamah pada malam-malam Ramadhan dinamakan Tarawih karena kaum muslimin pertama kali berkumpul untuk shalat itu mereka beristirahat pada setiap dua kali salam.
Arti (من قام رمضان) ialah berdiri untuk shalat pada malam-malam Ramadhan. Yang dimaksud dengan Qiyam al-Lail ialah asal berdiri yang terjadi pada malam itu, tidak disyaratkan harus mencakup seluruh malam.
Imam Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: Yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah Shalat Tarawih. Yakni bahwa dengan melakukan shalat itu, maka terpenuhilah bahwa apa yang dimaksud dari Qiyam itu, begitu juga Al-kirmani, “mereka sepakat bahwa yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih”.
Arti (ايمان ) ialah membenarkan bahwa Allah adalah haq dengan meyakini keutamaan-Nya. Sedang arti (احتسابا ) ialah hanya mengharapkan Allah SWT saja dan tidak menghendaki dilihat oleh manusia dan tidak pula selain itu yang bertentangan dengan ikhlas.
Pada kajian berikutnya akan dibahas mengenai jumlah rakaat dan keutamaan mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah.
KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TINGALKAN URL SITUS / BLOG ANDA DI AKHIR COMMENTAR TERIMAKASIH.