Pada 143 tahun silam seorang anggota keluarga AlHabsyi dan
seorang keluarga Baharun tercatat dalam sejarah menjadi orang-orang penting di
Dewan Pengadilan/Kehakiman-1 di Banjarmasin .
Mereka adalah wakil komunitas Arab yang terpilih duduk dalam
lembaga pemerintahan pusat bentukan penguasa Belanda, pasca penghapusan
kerajaan Banjar tahun 1860. Saat itu, Sajid Iderus bin Hasan AlHabsyi-2 dan
Pangeran Sjarif Husin bin Muhammad Baharun-3 merupakan dua tokoh terkemuka dari
kalangan warga masyarakat keturunan Arab.Sajid Iderus AlHabsyi adalah orang
Arab kelahiran Hadramaut yang masuk ke Banjarmasin
melalui Sambas-4.
Di sana , Sajid Iderus
berhasil menyunting seorang perempuan bernama Nur-5, kerabat kesultanan Sambas
dan mengajaknya pindah ke Banjarmasin .
Dari pernikahan mereka lahir Sajid Hasan, yang kelak menjadi
kapten Arab pertama. Sedang Pangeran Sjarif Husin, menurut catatan Belanda,
adalah pendatang dari keturunan Arab di Pekalongan, yang juga menantu Sultan
Adam (raja Banjar periode 1825-1857).
Ia menikah dengan salah satu putri Sultan Adam yang bernama
Ratu Aminah.
Jejak-jejak sayyid di Tanah Banjar pernah semarak dengan
kedatangan keluarga Muhammad bin Alwi AlHabsyi langsung dari Hadramaut, sekitar
permulaan abad ke-20.
Muhammad mempunyai 7 putra. Husin, putra sulung, pernah
singgah ke Banjar tapi kemudian balik lagi ke Hadramaut. Abdillah putra kedua
mendarat di Aceh dan selanjutnya bermukim hingga akhir hayat di negeri serambi
Mekkah itu. Putra Muhammad lainnya Ahmad berdiam di Pal 1 (Jl. A. Yani Km 1),
Zen dari Banjarmasin kemudian memilih bertempat
tinggal di Martapura (40 km dari ibukota Banjarmasin ),
Ali menetap di Lawang (daerah perbatasan Malang-Pasuruan), Salim (tinngal di
sekitar Pasar Rambai, kampung Telawang Banjarmasin), serta Umar juga di wilayah
Pal 1. Muhammad bin Alwi yang sudah sepuh suatu ketika menengok putra-putranya
ke Banjarmasin .
Karena sakit tua, ia akhirnya berpulang ke rahmatullah di salah satu kediaman
putranya di Banjamasin dan dimakamkan di Turbah (pemakaman orang Arab) Kampung
Sungai Jingah. Muhammad mempunyai tiga saudara yakni Abdullah, Syekh dan
Hasan-6. Putra Abdullah yang bernama Alwi menjadi Kapten Arab kedua
menggantikan Sajid Hasan bin Iderus AlHabsyi. Tak lama memegang jabatan itu,
Alwi bin Abdullah AlHabsyi belakangan pindah mukim ke Barabai, karena menikah
dengan perempuan campuran Nagara-Banua Kupang bernama H. Masrah. Hasan, tinggal
di Martapura dan mempunyai putra bernama Ali (Martapura). Sementara Syekh mempunyai
putri bernama Fetum yang kemudian kawin dengan Ahmad Pal 1.Sajid Iderus bin
Hasan AlHabsyi, Pangeran Sjarif Husin bin Muhammad Baharun dan empat keluarga
AlHabsyi (Muhammad, Abdullah, Syekh dan Hasan) sebenarnya bukan pendatang yang
pertama di tanah Banjar.
Menengok kebelakang, keluarga Ba’bud, Assegaf, Alaydrus dan
Bahasyim tercatat lebih dulu menjejakkan kakinya di pulau Kalimantan
bagian tenggara ini. Seorang dari keluarga Assegaf bernama Alwi bin Abdillah
bin Saleh bin Abubakar (w.1842) dilaporkan melalui perjalanan panjang dari
Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik sebelum menyinggahi Banjarmasin
dan sempat bermukim di Kampung Sungai Mesa .
Alwi kemudian menetap di Martapura (Kampung Melayu) dan mendapat hadiah tanah
dari Sultan Adam di daerah Karang Putih. Kelak ia dan anak cucunya bermakam di
tanah pemberian sultan tersebut (makam Karang Putih Jl Menteri Empat
Martapura). Dari keluarga Ba’bud tercatat nama Ahmad bin Abdurrahman (wafat
1884 M) yang juga menjadi menantu Sultan Adam lewat perkawinanannya dengan
Putri Qamarul Zaman. Ahmad datang dari Pekalongan dan bekerja di kerajaan
Banjar sebagai guru agama. Ia mengajar mengaji para pangeran dan kerbat dalam
istana lainnya, di samping sebagai penasihat pribadi sultan. Dari perkawinan
tersebut Ahmad memiliki 3 putra yakni Muksin, Abdullah dan Muhammad.Jejak
Alaydrus dikenal dari Pangeran Syarif Ali yang mendirikan kerajaan kecil di
Angsana-Sebamban (Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel). Satu keterangan dari pihak
keluarga, menyebut bahwa Pangeran Syarif Ali sezaman dengan Pangeran
Diponegoro. Jika Diponegoro berjuang di Jawa, Pangeran Syarif Ali berjuang di
pedalaman Kalimantan . Pangeran Syarif Ali bin
Abdurrahman adalah cucu Sultan Kubu Idrus bin Abdurrahman. Idrus Sultan Kubu
(w. 1795 M) adalah paman dari Sajid Besar Abdurrahman Panotogomo yang mengabdi
di Kraton Yogyakarta pada zaman Hamengku
Bowono I (1755-1792). Ali, ayah Abdurrahman Panotogomo, adalah saudara Idrus
Sultan Kubu.Salah satu tokoh sayyid yang sangat popular adalah Hamid bin
Abas-7.
Ia dari keluarga Bahasyim. Habib Basirih, demikian
masyarakat menyebut sosok Hamid bin Abas, merupakan sosok kharismatik yang tetap
ramai diziarahi masyarakat ,
baik sewaktu ia masih hidup maupun setelah ia meninggal
dunia. Keluarbiasaan jalan hidup Habib Basirih “berumah di atas pohon kelapa”
menjadi cerita sambung menyambung di tengah masyarakat. Leluhur Hamid bin Abas
yang bernama Awad diyakini sebagai Bahasyim “pertama” (paling tua) di bumi Kalimantan (Banjar)-8. Awad bin Umar mempunyai seorang
saudara lelaki yang menetap dan menurunkan Bahasyim di Bima, NTB.
Menurut cerita, Awad masuk ke Banjar dari Sampit, (salah
satu kabupaten di Kalteng)-9.
Buyut Awad adalah Abas (ayah Habib Basirih) yang dikenal
sebagai orang kaya yang memiliki tanah luas dan kapal dagang. Orang Arab
dikenal sebagai orang yang suka berpetualang menjelajahi sepanjang lautan
sebelum dan sesudah berkembangnya Islam. (lihat Sejed Alwi bin Tahir Al-Haddad,
Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh, terjemah Dzija Shahab,
Almaktab-AlDaimi, 1957, hal 15).
Lihat pula buku kisah perjalanan ke dunia timur Al-Mas’udi,
Murujuzzahab. Kapan persisnya periode waktu kedatangan mereka ke Nusantara,
tiada keterangan yang cukup jelas. Beberapa penulis sejarah Islam di Indonesia
menyatakan para pedagang Arab kemungkinan pernah menyinggahi Pelabuhan Sunda
Kelapa yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Di masanya, Sunda Kelapa
merupakan jalur sutra yang dikunjungi pedagang pelbagai penjuru (Lihat M. Dien
Majid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII
dalam Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, kumpulan makalah, 1995).
Keterangan lain menyebutkan, kedatangan orang Arab di
Indonesia makin jelas setelah agama Islam lahir (abad VII M). Pada masa ini
mereka sedang mengemban dua tugas yaitu berniaga dan menyiarkan agama Islam.
(Lihat Ismail Yacob, Sejarah Islam di Indonesia, tanpa tahun, hal 14-15).Jauh
sebelum Belanda datang pertama kali ke Nusantara (1596), sudah ada orang Arab
yang datang dari Hadramaut ke Jawa termasuk ke Jakarta seperti kelompok
Alaydrus dan kelompok Al-Bafaqih, berada di kampung Jawa (sekarang berada dalam
kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung). Lihat RB Serjeant, The Saiyids of
Haadramawt, School of Oriental and African Studies, University of London, 1957,
hal 25). Selain itu, para Wali Sanga (pada zaman kerajaan Demak) datang dari
Arab ke Nusantara untuk keperluan dakwah menyebarkan Islam.
Leluhur Wali Sanga adalah Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad
Shahib Mirbath yang hijrah dari Hadramaut ke India .
Buyut Abdul Malik bernama Jamaludin Husin adalah datuk dari
Syarif Hidayatullah
(Sunang Gunung Jati di Cirebon). Garis silsilah para wali lainnya
seperti Maulana Malik Ibrahim (Gresik), Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus,
Sunan Drajat dan Sunan Bonang tersambung ke nama Jamaludin Husin. Sedangkan
buyut Abdul Malik lainnya (saudara Jamaludin Husin) yang bernama Ali Nurudin
merupakan leluhur Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Saat ini kebanyakan keturunan
wali sanga yang keturunan Nabi Muhammad saw, mereka menikah dengan pribumi
sehingga tidak terlihat berwajah arab.Ada juga yang melahirkan kerajaan islam
seperti kerajaan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati Sumber dari catatan keluarga
Aidid menyebutkan, bahwa moyang mereka yang bernama Jalaluddin Aidid
--keturunan dari Muhammad Maula Aidid
(Muhammad bib Ali Shahib Al-Hauthoh/1334-1442 M)-dari Aceh
pernah datang ke Banjar (Kalimantan Selatan) pada penghujung abad ke-16.
Jalaluddin adalah anak sayyid Muhammad Wahid (Aceh) dan Syarifah Halisyah.
Jalaluddin beristri Tamami putri Sultan Abdul Kadir Alaudin
di Banjar (di kerajaan Pagatan?).
Istri Jalaluddin adalah kerabat kerajaan Gowa Tallo. Karena
mempunyai istri yang berasal dari keluarga kerajaan tersebut, Jalaluddin datang
ke Gowa Tallo. Sayang, di sana
ulama keramat yang merupakan keturunan ke-27 dari Rasulullah ini kurang
dipedulikan.
Jalaludin kemudian pindah ke Cikoang (Kecamatan Marbo,
Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang kini menjadi basis keluarga Aidid di
Makassar).Salah satu putranya yang bernama Jamaluddin Aidid balik ke Banjar.
Anak cucu keturunan Aidid hingga kini tersebar di Makassar, Banjarmasin ,
Sungai Danau (Tanah Bumbu), Jakarta (di Tebet)
dan Johor (Malaysia ).
Keberadaan keluarga Aidid di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan bukan
sesuatu yang mustahil dari sisi lalu lintas laut. Sebab, Tanah Bumbu, yang
merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Kotabaru, terletak di
pesisir pantai selatan provinsi Kalsel dan berbatasan dengan Laut Sulawesi.
Sebagian penduduk Kotabaru selain terdiri dari suku Banjar juga berasal dari
pendatang asal Suku Bugis Makassar. Sebuah nama yang disebut terlibat dalam
Perang Banjar bersama-sama Pangeran Antasari, P Hidayatullah, Demang Leman dan
H Buyasin adakah Said Sambas. Said (Sayyid?) Sambas ketika meletus Perang
Banjar merupakan salah satu pimpinan penyerangan terhadap benteng Pengaron, dan
bergerilya di wilayah Riam Kanan, Riam Kiwa, Martapura dan Rantau. Tidak
diperoleh keterangan jelas tentang siapa sesungguhnya sosok ini. Identikkah ia
dengan Sajid Iderus bin Hassan bin Agil AlHabsyi yang menurut keterangan juga
datang dari Sambas bersama seorang Arab bernama Nasar bin Yusuf Ganam ? Ataukah
Said Sambas ini merupakan pribadi dan sosok berbeda ? Satu sosok bernama Sayyid Zen yang
mengawini cucu Sultan Sulaiman juga belum diketahui asal usulnya. Sayyid
diperkirakan lahir awal 1800-an. Syarif Umar putra hasil perkawinan mereka
gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Paringin (kini Kabupaten Balangan,
Kalsel) tahun 1860. Syarif Umar mempunyai seorang putra bernama Syarif
Abubakar. Syarif Abubakar dan putrinya Syarifah Intan (4 tahun) ikut dalam
rombongan Pangeran Hidayatullah yang diasingkan Belanda Cianjur, 3 Maret 1862.
Jejak jejak sayyid di wilayah Hulu Sungai dapat ditemui di
sebuah tempat bernama Lorong Said Alwi di Kota Barabai. Alwi Kapten Arab kerap
menaiki kereta kuda dari Barabai ke Pantai Hambawang. Di sana ia turun, beristirahat dan kemudian
berganti kuda dengan penduduk setempat untuk menuju sebuah pangkalan perahu
menjemput kerabat-kerabatnya sejumlah Habib asal Nagara. Alwi berjasa
mengembangkan penanaman karet di wilayah Hulu Sungai. Sewaktu Soekarno ke
Barabai ia berjumpa dengan tokoh ini. Sebelum kedatangan Said Alwi di Barabai,
lebih dulu bermukim di wilayah Hulu Sungai ini seorang bernama Muhdhor bin
Salim bin Agil bin Ahmad BSA (Keramat Manjang).
Muhdhor datang langsung dari Tarim (Hadramaut) ke Barabai.
Pada suatu ketika Muhdhor berkunjung ke Martapurta menemui kerabatnya Abubakar
AlHabsyi. Mereka sama-sama berasal dari Tarim. Oleh Habib Abubakar, Habib
Muhdhor akhirnya diambil sebagai menantu. Muhdhor kawin dengan Syarifah Noor
binti Abubakar bin Husin bin Ahmad bin Abdullah bin Ali AlHabsyi. Ayah Abubakar
yang bernama Husin AlHabsyi semula tinggal di Ma’la (Mekah) pindah ke Tarim.
Dari Tarim Abubakar datang ke Martapura dan kemudian menikah dengan Syarifah
Muzenah binti Alwi bin Abdillah Assegaf (Kampung Melayu, Martapura).
Alwi Assegaf, yang merupakan mertua Abubakar AlHabsyi,
menurut catatan yang diperoleh penulis merupakan salah satu pendatang Hadramaut
paling awal datang ke Martapura.Ali putra Alwi memiliki cerita khusus tentang
perkawinannya. Adalah seorang perempuan Bugis yang asalnya merupakan pelarian
dari kerajaan Bone tinggal di Kampung Bugis di Banjarmasin. Perempuan yang
tidak diketahui namanya ini kawin dengan seorang lelaki bernama Dapat
(Sudapat). Dapat berasal dari Kampung Kalampayan yang masih terhitiung cucu
dari Datu Kalampayan Syekh Muhammad Arsyad. Perkawinan Dapat dengan perempuan
Bugis melahirkan perempuan bernama Ratubah. Ratubah dipelihara oleh keluarga
Arab dari marga Alkatiri di Kampong Arab Banjarmasin
(sekarang Jalan Antasan Kecil Barat). Suatu ketika Ali bin Alwi Assegaf dari
Kampung Melayu Martapura mampir ke rumah keluarga Alklatiri tersebut. Saat
bersamaan, di rumah keluarga Arab itu, Ratubah tengah mencucuki marjan.
Dari perjumpaan menyaksikan seorang perempuan campuran
Bugis-Banjar di rumah keluarga Arab itu, Ali akhirnya tinggal di Kampung Bugis
karena menikah dengan Ratubah. Untuk tempat tinggalnya Ali membeli sebuah rumah
kecil di Kampung Bugis (Jalan Sulawesi), membangunnya kembali, dan menyulapnya
menjadi rumah Baanjung (rumah adat Banjar).Putra Ali dengan Ratubah adalah Zen.
Zen kawin dengan Syarifah dari keluarga Bahasyim berputra Alwi [seorang
pedagang asam kamal yang berjualan dari Kuin Utara ke Aluh-aluh, Kabupaten
Banjar dan merupakan ayah dari Ibu Galuh (Syarifah Fatimah) di Kampung Melayu
dan Abdul Kadir Jailani di Sungai Mesa] Perkawinan Zen dengan perempuan dari
bangsa Banakmah berputra Ali, Sy Zainab, Sy Fetum (ibu Segaf bin Abubakar
AlHabsyi), Sy Noor dan Sy Fedlon (masih hidup tinggal di Kampung Bugis ).Jika
kita berkunjung ke Komplek Makan Sultan Suriansyah, di sana terdapat makam
Sayid Muhammad (atau Sayyid Ahmad Idrus?) dan Khatib Dayyan. Nama terakhir
adalah tokoh yang dikirim Sultan Demak Tranggono untuk mengislamkan Raden
Samudera (kelak bernama menjadi Sultan Suriansyah) dan rakyat Banjar pada tahun
1526 M. Khatib Dayyan yang menjabat panotogomo (penghulu) ini mempunyai nama
asli Abdurrahman.
Ia merupakan keturunan keluarga kesultanan Cirebon yang didirikan oleh Sunan Gunung
Jati. Menurut keterangan juru kunci makam, Sayyid Muhammad adalah leluhur dari
Habib Abdurrahman Alhabsyi (Ketua Islamic Center Kwitang Jakarta dan cucu Habib
Ali Kwitang).Satu lagi sosok yang perlu penelitian adalah seorang figur bernama
Datu Khayyan (bermakam di Alalak Berangas).
Ia diketahui mempunyai nama asli Abdurrahman Sidik bin Said
Husin Bin Syekh Abubakar bin Salim. Menurut cerita, tokoh ini berasal dari
Banten dan mengembara ke Kalimantan Barat. Setelah cukup lama bermukim di
Kalbar, Datu Khayyan kemudian meneruskan perjalanan menelusuri sungai Kahayan
dan Barito. Sempat berdiam di Kotawaringan Barat, Datu Khayyan kemudian menetap
dan menghabiskan masa tuanya di Alalak Berangas, Kabupaten Batola. Datu Khayyan
dikenal sebagai pendakwah dan pejuang melawan Belanda di abad ke-18. Di
generasi abad ke-20 terdapat nama Abdul Kadir Ba’bud, pimpinan pasukan
Tengkorak Putih pada tahun 1949. Belum lagi sejumlah seniman, budayawan yang
pernah memperkaya batin masyarakat dengan karya-karya mereka.Jejak jejak para
sayyid yang menghilang dan tenggelam sekian masa waktu kini mulai bangun
seiring tumbuhnya majelis-majelis ta’lim yang diasuh sejumlah keturunanan
sayyid. Jika para leluhur telah meninggalkan sesuatu yang bermakna dan kenangan
di hati umat, kita menanti generasi sayyid masa kini membuat sejarahnya.
Note:
1. Dewan Pengadilan/Kehakiman di Banjarmasin dibentuk tahun 1863.
2. Sajid Iderus bin Hasan AlHabsyi bermakam di Turbah,
Kampung Sungai Jingah
3. Pangeran Sjarif Husin bin Muhammad Baharun dulu tinggal
di Kampung Melayu Banjarmasin .
Makamnya hingga kini tidak diketahui tempatnya. Anak keturunan tokoh ini masih
bisa yang tinggal di Kampung Melayu.
4. Sambas kini merupakan sebuah kabupaten di provinsi
Kalimantan Barat.
5. Nur belakangan diambil sebagai nama mushala sederhana
keluarga di wilayah Ujung Murung yang dibangun oleh Sajid Hasan. Karena jumlah
jemaahnya berkembang, mushalla tersebut lalu berpindah ke wilayah Masjid Noor
sekarang di antara pertemuan Jalan Samudera dan Simpang Sudimampir. Makam Nur
terdapat di dalam mesjid ini. Rumah Hasan Kapten Arab pertama di tanah Banjar
berada di lokasi bangunan
Plaza Metro sekarang.
6. Silsilah empat keluarga AlHabsyi ini (Muhammad, Abdullah,
Syekh dan Hasan) bersambung ke Alwi bin Syekh bin Zen bin Ahmad bin Hasyim bin
Ahmad bin Muhammad Ashgar bin Alwi bin Abubakar AlHabsyi.
7. Hamid bin Abas bermakam di Basirih. Gampang mencapai
makam Habib karena ada angkutan kota
yang melayani rute Pasar Hanyar – Basirih.
8. Syarifah Khadijah Bahasyim, cucu Habib Basirih. 9. Makam
Awad tak diketahui, namun ia mempunyai putra bernama Husin yang menurut seorang
keluarga Bahasyim bermakam di Kompleks Makam Sultan Adam Martapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TINGALKAN URL SITUS / BLOG ANDA DI AKHIR COMMENTAR TERIMAKASIH.